PENIKMAT rokok dan industri rokok dirundung cemas.Ini terkait rencana pertemuan Itjima’ Ulama Komisi Fatwa MUI Se-Indonesia di Padang Panjang,Sumatera Barat, 23–26 Januari 2009.
Mereka cemas karena sangat mungkin kebiasaan dan bisnis yang mereka jalankan selama ini akan diharamkan. Jikafatwatersebutbenar-benarturun,hampirdipastikan tingkat konsumsi rokok akan anjlok karena mayoritas perokok adalah umat Islam.
Lalu bagi industri rokok Tanah Air fatwa ini akan menjadi alamat buruk bagi masa depan usaha mereka. Munculnya penggiringan wacana merokok ke dalam aturan agama bersumber dari satu persoalan pokok, yakni dampak terhadap kesehatan manusia.
Fakta memang menunjukkan racun utama pada rokok seperti tar, nikotin, dan karbon monoksida membuat pengisap asap rokok mengalami risiko 14 kali lebih besar terkena kanker paruparu, mulut, dan tenggorokan, dan puluhan jenis penyakit membahayakan lainnya.
Alasan inilah yang menjadi landasan moral untuk mendorong ulama mengeluarkan fatwa haram.Untuk lebih meyakinkan bahwa merokok tidak sekadar makruh seperti diyakini sebagian besar ulama saat ini, kalangan profatwa haram mencoba menganalogikan akibat dari perilaku mengonsumsi rokok seperti mengonsumsi minuman keras, yaitu membahayakan—baik harta maupun badan.
Bisa dipastikanpula upaya mengharamkan rokok tidak akan semudah membalik tangan. Teriakan menentang fatwa haram jauh hari sudah nyaring terdengar.Bukan hanya dari kalangan pengusaha dan perokok, petani tembakau, buruh pabrik,dan pemerintah pun merasa terancam.
Bisa dibayangkan bagaimana nasib petani di Temanggung dan Madura jika tembakau yang selama ini menjadi gantungan hidup mereka tidak bisa dijual. Bagaimana jadinya jika puluhan ribu buruh linting di PT Gudang Garam, HM Sampoerna, Djarum, dan Bentoel tidak lagi bisa bekerja karena pabrik mereka gulung tikar.
Menurut catatan, tidak kurang dari 6,4 juta penduduk Indonesia bergantung pada industri rokok, dengan efek ganda mencapai 20 juta orang,yaitu mereka yang membuka usaha penitipan sepeda, kantin, maupun kontrakan dan sebagainya. Pemerintah juga tak kalah kelabakan.
Dari cukai rokok saja pemerintah bisa meraup pemasukan Rp50 triliun atau setara 5% APBN 2008 yang mencapai Rp1.000 triliun. Jumlah ini belum termasuk pemasukan dari iklan, percetakan,dan sektor industri lain yang terkait rokok.Dana sebesar ini sangat bermanfaat untuk membiayai program pendidikan, kesehatan, maupun infrastruktur.
Melihat kontribusi nyata ini, tentu para ulama harus melakukan pendekatan yang arif dan bijaksana, sehingga fatwa yang akan diambil tidak menimbulkan problem baru yangtakkalahberatnya.Apalagiditengah merebaknya PHK massal akibat krisis global.
MUI bisa mengambil opsi jalan tengah dengan menunda fatwa haram sembari menunggu semua pihak sudah siap menerima fatwa tersebut.Penundaan bisa disesuaikan dengan tahapan orientasi industri rokok,yakni periode 2007–2010 (pro-income),2010–2015 (pro-job),dan 2015–2020 (pro-health).
Atau jika kondisi masyarakat menjadi pertimbangan utama, MUI tidak mengharamkan rokok, tapi mendorong berjalanan sistem yang membatasi ruang gerak konsumsi rokok. Pilihan ini berdasarkan realitas bahwa aturan larangan merokok seperti diterapkan DKI Jakarta melalui Perda No 2/2006 tentang Pengendalian Pencemaran Udara ternyata tidak efektif.
MUIbisajugamendorongpemerintah-pemerintahdaerah dan pemerintah pusat agar merevisi atau membuat aturan larangan rokok lebih tegas dan dengan sanksi lebih keras.Denganadanya punishment yang lebih menakutkan, masyarakat yang terbiasa seenaknya merokok akan berpikir ulang.
Selainitu,MUImengeluarkanrekomendasiyangmeminta pemerintah pusat membatasi peredaran rokok seperti halnya pengaturan penjualan minuman keras,meningkatkan besaran cukai rokok,atau mengencangkan tensi peringatan bahaya merokok seperti tertera di bungkus rokok selama ini.
Seperti di Eropa, peringatan bahaya rokok tidak cukup dengan pengumuman ”Merokok dapat menyebabkan kanker, serangan jantung,impotensi dan gangguan kehamilan”, tapi disertai gambar yang mempertunjukkan penyakit yang diderita perokok.Jika peraturan daerah maupun peraturan pemerintah serius dijalankan, tanpa fatwa haram pun jumlah perokok akan berkurang dengan sendirinya.(*)
Fakta memang menunjukkan racun utama pada rokok seperti tar, nikotin, dan karbon monoksida membuat pengisap asap rokok mengalami risiko 14 kali lebih besar terkena kanker paruparu, mulut, dan tenggorokan, dan puluhan jenis penyakit membahayakan lainnya.
Alasan inilah yang menjadi landasan moral untuk mendorong ulama mengeluarkan fatwa haram.Untuk lebih meyakinkan bahwa merokok tidak sekadar makruh seperti diyakini sebagian besar ulama saat ini, kalangan profatwa haram mencoba menganalogikan akibat dari perilaku mengonsumsi rokok seperti mengonsumsi minuman keras, yaitu membahayakan—baik harta maupun badan.
Bisa dipastikan
Bisa dibayangkan bagaimana nasib petani di Temanggung dan Madura jika tembakau yang selama ini menjadi gantungan hidup mereka tidak bisa dijual. Bagaimana jadinya jika puluhan ribu buruh linting di PT Gudang Garam, HM Sampoerna, Djarum, dan Bentoel tidak lagi bisa bekerja karena pabrik mereka gulung tikar.
Menurut catatan, tidak kurang dari 6,4 juta penduduk Indonesia bergantung pada industri rokok, dengan efek ganda mencapai 20 juta orang,yaitu mereka yang membuka usaha penitipan sepeda, kantin, maupun kontrakan dan sebagainya. Pemerintah juga tak kalah kelabakan.
Dari cukai rokok saja pemerintah bisa meraup pemasukan Rp50 triliun atau setara 5% APBN 2008 yang mencapai Rp1.000 triliun. Jumlah ini belum termasuk pemasukan dari iklan, percetakan,dan sektor industri lain yang terkait rokok.Dana sebesar ini sangat bermanfaat untuk membiayai program pendidikan, kesehatan, maupun infrastruktur.
Melihat kontribusi nyata ini, tentu para ulama harus melakukan pendekatan yang arif dan bijaksana, sehingga fatwa yang akan diambil tidak menimbulkan problem baru yangtakkalahberatnya.Apalagiditengah merebaknya PHK massal akibat krisis global.
MUI bisa mengambil opsi jalan tengah dengan menunda fatwa haram sembari menunggu semua pihak sudah siap menerima fatwa tersebut.Penundaan bisa disesuaikan dengan tahapan orientasi industri rokok,yakni periode 2007–2010 (pro-income),2010–2015 (pro-job),dan 2015–2020 (pro-health).
Atau jika kondisi masyarakat menjadi pertimbangan utama, MUI tidak mengharamkan rokok, tapi mendorong berjalanan sistem yang membatasi ruang gerak konsumsi rokok. Pilihan ini berdasarkan realitas bahwa aturan larangan merokok seperti diterapkan DKI Jakarta melalui Perda No 2/2006 tentang Pengendalian Pencemaran Udara ternyata tidak efektif.
MUIbisajugamendorongpemerintah-pemerintahdaerah dan pemerintah pusat agar merevisi atau membuat aturan larangan rokok lebih tegas dan dengan sanksi lebih keras.Denganadanya punishment yang lebih menakutkan, masyarakat yang terbiasa seenaknya merokok akan berpikir ulang.
Selainitu,MUImengeluarkanrekomendasiyangmeminta pemerintah pusat membatasi peredaran rokok seperti halnya pengaturan penjualan minuman keras,meningkatkan besaran cukai rokok,atau mengencangkan tensi peringatan bahaya merokok seperti tertera di bungkus rokok selama ini.
Seperti di Eropa, peringatan bahaya rokok tidak cukup dengan pengumuman ”Merokok dapat menyebabkan kanker, serangan jantung,impotensi dan gangguan kehamilan”, tapi disertai gambar yang mempertunjukkan penyakit yang diderita perokok.Jika peraturan daerah maupun peraturan pemerintah serius dijalankan, tanpa fatwa haram pun jumlah perokok akan berkurang dengan sendirinya.(*)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar