Sabtu, 26 Februari 2011

budaya dan perspektif sejarah

BUDAYA DAN PERSPEKTIF SEJARAH

|Kemajemukan dan sikap yang menghargai keberagaman di kalangan masyarakat Nusantara sejak dulu telah menarik perhatian para penjelajah asing. Kepulauan yang subur dan memiliki komoditas yang banyak dibutuhkan oleh orang-orang Eropa, Timur Tengah, Asia Selatan maupun Tiongkok tersebut, melahirkan emporium yang bersifat kosmopolitan. Para pedagang, tukang, guru, tentara dan penyebar agama dari berbagai negeri memilih bermukim dan beranak pinak di negeri zamrud khatulistiwa ini. Di samping itu, 17,000 pulau yang ada di Indonesia merupakan tempat hidup berbagai suku bangsa, yang berdasarkan survei BPS di bulan Februari 2010, berjumlah 1,128.


Tulisan ini berusaha memberikan fakta-fakta akan tersebarluasnya keberagaman dalam kanvas besar sejarah negeri ini. Kemajemukan bukanlah hal yang asing atau tidak dikenal dalam lembaran masa lalu bangsa ini. Namun, tulisan ini juga hendak mengingatkan, bahwa upayaupaya untuk menghapuskan keberagaman tersebut pun seringkali muncul. Penyajian pelbagai data historis di sini ingin menunjukkan, bahwa keberagaman selayaknyalah dianggap sebagai rahmat, bukan sebagai fenomena yang menakutkan, yang justru bisa dikelola bagi kemajuan bangsa.

Tionghoa dan Islam
Sebagai kerajaan maritim yang hidup dari berdagang, raja dan penguasa lokal membutuhkan orang-orang yang memiliki keahlian dalam manajemen bisnis. Maka kehadiran orang-orang seberang yang berniat mengabdikan diri mereka, disambut dengan hangat. Lodewyks, yang turut dalam ekspedisi pertama Belanda ke Banten, mencatat di tahun 1596 bahwa di kerajaan tersebut terdapat orang-orang Tionghoa yang mengabdi pada raja dan sekaligus menjadi Muslim. Kyai Ngabehi Kaytsu dan Kyai Ngabehi Cakradana merupakan syahbandar Muslim Tionghoa dari Banten di abad XVII. Adipati Bangil dan Bupati Tegal adalah generasi kedua dari keluarga Han Siong Kong yang lahir di Tiongkok (1673) dan wafat di Lasem (1744). Bupati Kota Yogyakarta (1813-1831) pada jaman Sultan Hamengku Buwono II, dijabat oleh Raden Tumenggung Setjadiningrat alias Tan Jin Sing (1760-1831). Orang-orang Tionghoa yang masuk Islam beserta keturunannya inilah yang kemudian disebut sebagai kaum “Peranakan”. Istilah ini digunakan untuk membedakan golongan tersebut dengan golongan Tionghoa non-Muslim yang dalam catatan Belanda disebut “Chinezen”.

Kaum peranakan banyak tinggal di Batavia, Cirebon, Surakarta, Makassar, Sumenep dan Maluku/Banda. Di Batavia, berhubung jumlah penduduk Tionghoa Muslim cukup banyak, maka diangkatlah seorang opsir untuk komunitas ini. Kapten terakhir peranakan bernama Muhammad Japar (wafat 1827). Sejarawan Adolf Heuken menunjukkan banyak masjid di Batavia yang didirikan oleh Tionghoa, seperti Masjid Kebon Jeruk, Angke, Hidayatullah dan Krukut. Di Sumenep (Madura) arsitek Masjid Jami adalah Lauw Pia Ngo, seorang Tionghoa non-Muslim. Sebagai tanda terima kasihnya, Adipati Sumenep mewakafkan tanah di sebelah barat keraton kepada Lauw dan keluarganya.

Perkawinan Antar (Suku) Bangsa

Para (lelaki) pendatang kebanyakan tiba tanpa disertai pendamping, maka mereka kemudian melakukan perkawinan campuran dengan perempuan setempat. Pejuang kemerdekaan asal Banda (Maluku) yang baru saja berpulang, Des Alwi Abubakar (1927-2010) adalah contoh dari “Indonesia Mini” yang dibangun dari keberagaman.Dalam memoarnya Friends and Exiles (2008), dia menuliskan:

Kakek saya dinamai Said Tjong Baadilla. Ibunya adalah salah seorang anggota keluarga Tay, yang dikatakan keturunan Dinasti Ming dari Tiongkok, yang menyerbu Batavia pada pertengahan abad ke-17 dan diasingkan ke Banda. Ayahanda Ibunya adalah pimpinan komunitas Tionghoa; salah seorang putrinya menikah dengan Montanus yang keturunan Spanyol; yang seorang lagi menikah dengan seorang Tionghoa bernama Nio Chiu dan yang ketiga, nenek buyut saya, menikah dengan Abdullah Baadilla. Baadilla adalah suatu nama yang diketemukan di Spanyol dan Filipina, dan diduga berasal dari Maroko.